Sudah menjadi pengetahuan umum yang dibekali oleh guru-guru kita dari semenjak bangku sekolah, bahwa secara geografis, Indonesia terletak diantara 2 benua dan 2 samudra, Benua Asia dan Australia, Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Jika ditilik lebih detail, sebetulnya Indonesia terletak diantara 3 lempeng besar dunia, yaitu lempeng Eropa-Asia, lempeng Australia, dan Lempeng Pasifik.
Berdasarkan teori tektonik lempeng yang dicetuskan Alfred Wegener (1912), bahwa pada awalnya bumi itu terdiri dari 1 daratan luas, super-continent (benua super) bernama Pangea. Pangea ini kemudian terpecah menjadi beberapa kontinen karena adanya energi besar dari dalam bumi, terutama lapisan astenosfer. Energi inilah yang akhirnya menggerakkan lempeng-lempeng benua terpisah hingga menjadi bentuk bumi seperti sekarang.
Dari pergerakan lempeng benua inilah tercipta daratan-daratan seperti bumi sekarang, benua asia, eropa, afrika, amerika, australia, termasuk gugusan kepulauan Indonesia. Kebetulan nya kembali, bahwa posisi Indonesia itu berada pada perbatasan 3 lempeng besar dunia. Dimana lempeng-lempeng benua ini bergerak satu sama lain. Pergerakan ini ada yang divergent (menjauh), convergent (saling mendekat/bertumbukan) dan transformed (saling bergesekan secara horizontal). Pada perbatasan lempeng inilah sering ditemukan kejadian gempa bumi, pembentukan gunung berapi, palung laut.
Jadi secara fitrah, Indonesia itu sudah ditakdirkan menjadi wilayah dengan potensi bencana yang tinggi, dari mulai letusan gunung api, gempa bumi, atau bencana-bencana sekunder seperti tsunami, likuifaksi, semburan lumpur, dan lainnya. Tapi sisi baiknya dari fitrah tadi adalah Indonesia kaya akan sumber daya alam, dari mulai kekayaan vegetatif, mineral, minyak bumi, gas bumi, serta bahan-bahan lain yang tercipta dari aktifitas di dalam perut bumi.
Kembali pada topik kebencanaan, bahwa kita yang hidup di Indonesia dengan potensi kebencanaan yang tinggi seharusnya sudah tahu dan mengerti apa yang mesti kita persiapkan sebelum terjadi bencana, apa yang mesti kita lakukan saat terjadi bencana, lingkungan seperti apa saja yang perlu kita hindari, serta hal-hal lain yang perlu kita persiapkan dan lakukan untuk meminimalisir kerugian jiwa atau materi.
Hal-hal diatas tadi perlu kita atur, perlu kita manage dalam sebuah konsep Disaster Management atau manajemen bencana. Berdasarkan FEMA, Federal Emergency Management Agency, Ada 4 konsep pada disaster management, yaitu 1. Mitigation (mitigasi) 2. Preparedness (kesiapan) 3. Response (penanganan) 4. Recovery (pemulihan). Empat konsep kebencanaan ini sepertinya sudah harus menjadi ilmu atau pengetahuan dasar yang perlu dimiliki oleh masyarakat Indonesia yang hidup di lingkungan dengan potensi bencana yang tinggi.
Analoginya sama seperti jika kita berencana untuk pergi ke suatu tempat, katakan kita berencana berangkat dari rumah menuju kantor. Kira-kira hal apa saja yang perlu kita pertimbangkan? Pertama, kita pasti melihat dulu, apakah langit mendung atau cerah (Idetification and mitigation). Kedua, jika langit mendung, kita akan mempersiapkan payung, jas hujan, atau bahkan kita berencana untuk menggunakan mobil dibandingkan menggunakan motor atau kendaraan umum (preparedness). Ketiga, jika ternyata saat di perjalanan tiba-tiba turun hujan, sudah pasti kita akan membuka payung, mengenakan jas hujan, atau menyalakan wiper jika mengendarai mobil (response). Setelah hujan selesai, atau sampai di kantor, kita akan menutup payung, membuka jas hujan, kemudian menuju ruangan kantor, minimal kita menyeduh teh manis panas untuk menghangatkan diri (recovery).
Konsep sederhana yang sebetulnya mungkin hampir setiap hari kita lakukan dalam melakukan aktifitas rutin tersebut, perlu kita terapkan juga untuk kejadian bencana. Pada intinya, hidup kita itu perlu direncanakan, bukan hanya perencanaan finansial, jasmani, maupun rohani. Tapi juga kita perlu merencanakan diri untuk segala sesuatu yang bersifat darurat dan kejadian nya sulit untuk diprediksi.
1. Identification (Identifikasi)
Tak kenal maka tak sayang, mungkin ungkapan itu sudah familiar di telinga. Dalam konteks kebencanaan, maksud ungkapan ini adalah kita harus dapat mengenal, memahami, dan mengidentifikasi lingkungan tempat kita tinggal atau berkegiatan sehari-hari. Kita harus pandai mempelajari setiap risiko bencana, terutama di lingkungan sekitar kita.
Misalnya, kita harus mempelajari, mengenal lingkungan kita, apakah kita tinggal di perkotaan, di pedesaan, di dekat sungai, di dekat gunung berapi, di dekat pantai, di dekat lembah, dan lain sebagai nya.
Mari kita jabarkan risiko bencana yang mungkin terjadi di Indonesia : gempa bumi, gunung meletus, tsunami (untuk wilayah pesisir), kebakaran, banjir, longsor, bahkan mungkin bencana non alam seperti kemalingan, perampokan, dan penipuan. Kita harus dapat mendefinisikan berbagai risiko yang mungkin terjadi di sekitar kita dengan meningkatkan awareness, kesaradan kita tentang lingkungan sekitar, terutama tempat tinggal.
2. Mitigation (mitigasi)
Mitigasi adalah usaha yang dilakukan untuk menimalisir / mengurangi dampak buruk dari suatu ancaman. Dalam konteks ini, ancaman dapat kita definisikan sebagai bencana.
Setelah kita mendefinisikan risiko, selanjutnya adalah usaha kita untuk meminimalisir, atau mengurangi dampak dari ancaman tersebut. Apa saja yang perlu kita mitigasi? Tergantung jenis ancaman yang akan kita hadapi.
Misal, untuk bencana gempa bumi, mitigasi kita adalah minimal mempersiapkan struktur rumah tinggal kita mampu untuk tidak hancur / runtuh saat ada gempa, sehingga jika ada orang di dalam rumah, masih dapat selamat. Atau bisa juga hindari menyimpan furniture-furniture yang mudah runtuh jika terjadi gempa, yang berpotensi menimpa orang yang ada di rumah, misalnya rak tinggi, lampu gantung, dan lainnya. Jikapun ada benda seperti itu di rumah, baiknya kita perlu pasang pasak atau penguat, supaya barang-barang tersebut lebih kokoh, sehingga tidak menimbulkan risiko menimpa orang yang ada di rumah saat gempa.
Untuk bencana gunung meletus, kita perlu tahu tempat tinggal kita apakah dalam radius aman jalur lelehan lahar atau material vulkanik lain saat terjadi letusan? Jika ya, sebaiknya kita mulai merencakan untuk pindah tempat tinggal.
Untuk banjir, misalnya, kita perlu tahu seberapa besar risiko tempat tinggal kita untuk terjadi banjir, apakah rumah kita dekat dengan aliran sungai? Apakah area sekitar rumah kita memiliki sistem drainase yang baik atau tidak? Jika ya, maka kita perlu waspada, atau jika memungkinkan, pindah dari tempat dengan risiko banjir tinggi, seperti bantaran sungai.
Untuk kebakaran, misalnya, kita perlu menyiapkan alat pemadam api ringan di rumah, minimal yang bentuknya botol kaleng yang kompak. Bisa juga dengan penggunan tabung gas secara aman, kita perlu memeriksa rutin regulator gas, selang, maupun katup gas, apakah ada kebocoran atau tidak.
Masih banyak hal lain yang dapat kita mitigasi berbagai risiko bencana di sekitar kita.
3. Preparedness (Kesiapan)
Konsep ketiga adalah preparedness atau kesiapan. Segala sesuatu itu perlu disiapkan, bahkan untuk makan sekali pun kita perlu persiapan. Kata siap ini juga perlu kita tanamkan untuk menghadapi bencana. Kita harus siap dengan segala kemungkinan yang terjadi di hadapan kita. Persiapan menghadapi bencana ini artinya kita tahu dan mengerti apa yang akan kita lakukan saat terjadi bencana nantinya. Secara umum, semua bencana alam yang menimpa di sekitar lingkungan tempat kita tinggal, kemungkinan besar akan memaksa kita untuk meninggalkan tempat tinggal kita sementara / mengungsi.
Siap itu minimal kita membekali diri untuk menghadapi segala kemungkinan di depan. BNPB merekomendasikan beberapa hal yang perlu kita siapkan di rumah dalam rangka menyiapkan diri dari bencana. Salah satu persiapan bencana yang direkomendasikan BNPB adalah Tas Siaga Bencana. Benda apakah itu? BNPB merekomendasikan setiap keluarga di Indonesia memiliki tas siaga bencana yang saat kondisi darurat bencana menjadi penolong pertama kita, minimal untuk kurun waktu 72 jam, atau 3 hari setelah bencana terjadi. Hal ini untuk mengantisipasi jika bantuan datang terlambat ke lokasi bencana, dan kita diharapkan masih memiliki perbekalan untuk bertahan hidup selama 3 hari terebut.
Tas siaga bencana ini direkomendasikan berisi barang-barang sebagai berikut : Dokumen/surat berharga, pakaian dan perlengkapan ibadah, P3K dan obat-obatan pribadi, makanan ringan tahan lama, power bank/tenaga cadangan, senter dan baterai, peralatan mandi, plastik, masker dan hand sanitizer, selimut, uang tunai, peluit, foto keluarga.
Apapun bencana nya, dan kita tidak pernah tahu kapan akan datang, setidaknya saat momen dimana kita perlu mengungsi keluar dari rumah, kita hanya perlu mengingat dan mengambil tas siaga bencana ini, siapkan semua anggota keluarga, lalu fokus bertahan hidup untuk minimal 3 hari kedepan.
Selain kesiapan secara materi, kita juga perlu mempersiapkan diri kita serta keluarga yang ada di rumah secara mental dan pengetahuan nya. Konsep persiapan keluarga di rumah ini kita sebut saja dengan kesepakatan pra-bencana, apakah itu? Kesepakatan pra-bencana adalah semacam briefing/instruksi sederhana mengenai hal pertama yang perlu dilakukan setiap individu di dalam rumah bagaimana harus bertindak saat bencana sedang terjadi.
Konsep kesepakatan pra-bencana ini adalah respon pertama yang segera perlu kita lakukan saat kejadian bencana terjadi, entah itu gempa bumi, banjir, gunung meletus, kebakaran, dan sebagai nya. Misalnya saat terjadi kebakaran di rumah, apa yang perlu kita lakukan, apakah mencoba untuk memadamkan api, keluar dari rumah, menghubungi pemadam kebakaran, atau menyelamatkan orang tua / anggota keluarga yang perlu penanganan khusus yang ada di rumah, atau apa??
Kesepakatan pra-bencana ini perlu diketahui oleh semua anggota keluarga, bagaimana setiap langkah nya, kemudian bagaimana aplikasinya saat terjadi bencana. Kesepakatan ini juga dapat berupa jalur evakuasi keluar rumah yang perlu dipahami semua anggota keluarga saat terjadi bencana.
Ada 3 konsep persiapan saat bencana datang, yaitu apa yang perlu dilakukan?, kemana kita harus pergi?, dan siapa yang akan kita hubungi? saat bencana terjadi.
4. Response (Penanganan)
Jika identifikasi, mitigasi, dan persiapan dilakukan sebelum bencana terjadi, maka konsep response/penanganan kita lakukan setelah bencana terjadi. Sesaat setelah bencana terjadi, selain kita tetap perlu waspada akan adanya bencana susulan, kita juga harus bisa menanggapi bencana dengan bagaimana kita mampu bertahan hidup pasca bencana. Indonesia sendiri sudah memiliki BPBD (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) yang akan segera turun dan bergerak ke lokasi bencana sebagai respon dari suatu kejadian bencana. Badan ini sudah tersebar di semua wilayah Indonesia.
BPBD ini bisa kita masukan dalam salah satu daftar utama dan pertama siapa yang akan kita hubungi pertama kali pasca kejadian bencana. Meskipun demikian, secara pribadi, kita juga perlu mempersiapkan respon yang akan kita lakukan pasca bencana, minimal untuk kita dan keluarga inti yang tinggal serumah.
Dalam situasi respon tanggap bencana ini umumnya korban bencana akan dikumpulkan di sebuah tempat pengungsian, dimana minimal akan ada tenda-tenda darurat dan dapur umum. Jika dalam kondisi ini kita sudah mempersiapkan tas siaga bencana, kita juga bisa menambahkan faktor higienitas yang seringkali terabaikan di tempat-tempat pengungsian. Kejadian pacsa bencana ini seringkali berurusan dengan higienitas dan kesehatan orang di tempat pengungsian.
Kita harus mampu menjaga aspek kebersihan dan kesehatan, selain masalah makanan dan tempat tinggal. Pada umumnya setelah kejadian bencana, pasokan listrik, komunikasi, dan transportasi akan sangat terbatas, terutama di tempat-tempat terpencil. Kita akan dituntut untuk bertahan hidup dengan segala kondisi kedaruratan dan terbatasnya sumber daya.
5. Recovery (Pemulihan)
Setelah mampu melewati fasa tanggap darurat, fasa selanjutnya adalah recovery (pemulihan). Dalam fasa ini, setelah kejadian bencana, kita akan berusaha untuk kembali beraktifitas normal seperti sediakala, secara fisik dan mental.
Ada 2 hal utama yang perlu kita pulihkan, yaitu mental kita dan yang pasti pembangunan fisik bangunan maupun infrastruktur yang hancur akibat bencana. Hal pemulihan mental ini adalah hal utama yang perlu dilakukan secara mandiri pasca bencana. Pada umumnya setelah kejadian bencana akan banyak berdatangan voluntir-voluntir dari berbagai institusi yang bertujuan untuk pemulihan mental para korban bencana. Karena selain hancurnya harta benda, bencana pun akan meninggalkan trauma bagi orang-orang yang menjadi korban bencana tersebut.
Trauma secara mental ini yang pertama kita perlu pulihkan sebelum kita memulihkan hal yang lain. Karena jika mental seseorang sulit untuk kembali normal dari trauma, modal dan bekal dia untuk menghadapi kehidupan selanjutnya akan sulit. Kita harus bisa yakin dan meyakinkan bahwa kejadian bencana ini memang akan menimbulkan kerugian dari berbagai aspek, tapi kita juga harus bisa bangkit dari kejatuhan ini. Karena orang yang kuat itu bukan orang yang sanggup untuk mengangkat batu ribuan ton berat nya, tapi orang yang mampu bangkit berdiri setelah dia mengalami keterpurukan.
Untuk proses pemulihan secara fisik dan infrastruktur, biasanya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah akan turut serta, bahkan menjadi sebuah kewajiban pemerintah untuk melakukan pembangunan kembali infrastruktur yang hancur akibat bencana.
Jadi pada intinya adalah Indonesia ini sudah difitrahkan menjadi tempat dengan risiko bencana yang sangat tinggi, dari mulai gempa bumi, gunung meletus, longsor, banjir, tsunami, kebakaran, dan lainnya. Hal yang perlu kita lakukan adalah memahami dan menerima takdir kita seperti demikian, akan tetapi kita juga sebagai manusia perlu berusaha untuk meminimalisir dampak dari segala risiko bencana tersebut dengan memiliki pengetahuan, pemahaman, bagaimana caranya menghadapi kejadian-kejadian bencana ini, sehingga kerugian moral, materi, dan bahkan korban jiwa bisa kita minimalisir.
Salah satu negara yang memiliki pengetahuan tanggap darurat yang baik dan bisa kita contoh adalah Jepang. Dari semenjak kecil, dari bangku SD, penduduk Jepang sudah diberi pemahaman bahwa mereka hidup di daerah dengan risiko gempa dan tsunami yang sangat tinggi. Dari usia SD, mereka dibekali persiapan bagaimana jika gempa terjadi, apa yang harus mereka lakukan, kemana mereka harus pergi, siapa yang perlu mereka hubungi. Pemahaman ini juga sudah disertai sistem kebencanaan yang sangat baik. Berbagai protokol kedaruratan sudah disiapkan untuk menghadapi kejadian gempa dan tsunami yang sangat sering terjadi.
Tidak hanya itu, segala infrastruktur yang Jepang bangun sudah berbasiskan kegempaan, karena mereka sadar bahwa mereka tinggal di area dengan risiko gempa yang sangat tinggi. Sehingga saat kejadian gempa, kerugian secara moral, materi, dan korban jiwa dapat sangat diminimalisir.
Dalam menanggapi semua kejadian bencana ini, bukan seharusnya kita hanya bisa menganggap bahwa bencana ini merupakan azab atau ujian. Bencana itu memang ujian, tapi apakah saat kita diberi ujian, kita tidak mengerjakan ujian itu hingga selesai? Ujian itu jangan dianalogikan sebagai media untuk menghancurkan kita, tapi ujian itu justru kita pandang sebagai salah satu langkah yang dapat membuat kita menjadi lebih baik untuk ke depan.
Hal apa saja yang perlu kita siapkan untuk menghadapi ujian?? Ya dengan pengetahuan, dengan ilmu. Manusia itu dibekali hati dan pikiran, hati kita gunakan untuk merasa dan menilai, pikirain kita gunakan untuk mencari solusi dari segala permasalahan yang akan kita hadapi. Respon kita saat pekan ujian di sekolah dulu seperti apa? Diberi soal lalu menangis dan trauma, atau dengan segala daya upaya,kita kerjakan ujian itu, sehingga kita mendapatkan nilai yang sesuai dengan usaha kita tersebut??
Bukan kita hendak melawan kehendak Tuhan, tapi apakah Tuhan menyuruh kita diam saja, larut dalam kesedihan saat kita jatuh? Justru tuhan membekali hati dan pikiran supaya kita dapat bangkit kembali saat kita jatuh.
Salah satu upaya kita untuk menanggapi semua kejadian bencana yang seringkali terjadi di Indonesia ini adalah memperkaya pengetahuan dan ilmu kita untuk me manage, mengatur bagaimana saat kita menghadapi bencana tersebut. Jadi, seharusnya ilmu disaster management (manajemen bencana) ini sudah menjadi ilmu dasar yang perlu ditanamkan dari kecil, supaya menjadi bekal semua penduduk Indonesia dalam menjalani kehidupan di wilayah Indonesia yang memang rawan bencana.