Sudah menjadi hal lumrah melihat keseharian dalam berinteraksi dengan orang di sekitar kita, bahwa dewasa ini materi atau kekayaan yang menjadi tolak ukur sosial dalam berinteraksi. Pandangan orang terhadap sesuatu seringkali didasarkan pada materi / capital yang digunakan atau melekat pada orang lain. Disadari atau tidak, pemahaman kapitalis sudah melekat erat dalam benak orang-orang dewasa ini.
Status sosial, kekayaan, nilai ekstrinsik barang, kepemilikan capital/barang/modal sudah menjadi parameter utama orang dalam menilai lingkungan sekitar nya. Pemahaman bahwa materi/capital/barang/modal menjadi tolak ukur kebahagiaan, kesuksesan, dan kemakmuran sudah menjadi sebuah keniscayaan. Pola pikir yang ditanamkan pada anak-anak atau kaum muda dewasa ini secara tidak langsung adalah seperti itu. Nilai-nilai kapitalisme sudah menjalar dalam berbagai sudut pergaulan di sekolah, lingkungan, atau bahkan keluarga sendiri.
Hal dasar yang berubah secara definisi yaitu bahagia dan sukses. Sudah menjadi fitrah, bahwa kita hidup untuk mencari kebahagian dan kesuksesan. Menjalani hidup dengan nyaman, aman, bahagia dan makmur adalah beberapa hak dasar manusia, atau sering kita dengan hak asasi manusia. Tapi hal ini menjadi bias, jika definisi bahagia, makmur, dan sukses itu sendiri sudah mengalami pergeseran makna. Parameter bahagia dan sukses itu adalah materi.
Orang akan bahagia jika kekayaan nya melimpah, orang bahagia itu orang yang punya segalanya, dan segalanya bisa dibeli dengan uang. Orang sukses itu adalah orang yang punya banyak uang, harta, dan kekayaan. Manifesto-manifesto semacam itulah yang dewasa ini melekat pada pemikiran orang zaman sekarang.
Pergeseran definisi inilah yang sesungguhnya menjadi penyebab utama orang kehilangan tujuan hidupnya. Karena saat orang memiliki tujuan hidup untuk bahagia, untuk sukses, sedangkan definisi bahagia dan sukses itu hanya sebatas materi, otomatis tujuan hidup nya akan sangat terbatas pada materi/barang/capital.
Sesungguhnya definisi bahagia dan sukses itu sangat luas. Pemikiran kita saja yang dibatasi oleh kapitalisme, sehingga makna hidup hanya berputar di sekitar materi, barang, dan kekayaan. Salah?? Tidak, karena hak setiap orang untuk memiliki tujuan bahagia dan sukses. Hanya yang disayangkan itu adalah pemikiran sempit bahwa tolak ukur kebahagiaan dan kesuksesan itu hanya diukur dari materi.
Nilai kapitalisme itu sangat menjunjung tinggi nilai-nilai individu, kepentingan diri, dan kebebasan. Dari 3 hal dasar ini saja sudah terlihat bahwa individualitas dalam kapitalisme ini sangat kental. Tidak ada nilai sosial, tidak ada nilai empati, kejujuran, moral, dan sebagainya. Sedangkan pada hakikatnya manusia itu adalah makhluk sosial, dimana nilai-nilai sosial seharusnya menjadi dasar untuk dia hidup. Jadi sudah jelas, jika kapitalisme ini seharusnya bertentangan dengan hakikat hidup manusia sebagai makhluk sosial.
Jika kapitalisme sudah menjadi acuan hidup seseorang, segala hal yang berkaitan dengan orang diluar dirinya, sudah hampir dipastikan akan dia hiraukan. Tidak heran jika dewasa ini nilai-nilai sosial sudah semakin pudar, karena sudah jarang yang menghiraukan.
Dewasa ini, terutama di perkotaan banyak orang mengaku bahwa hidup nya tidak bahagia, padahal dia punya gaji besar, tempat tinggal mewah, dan kebutuhan hidup nya pun sudah lebih dari cukup. Mengapa? Ini seharusnya sudah menjadi bukti bahwa materi itu tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Yang perlu kita lakukan itu sebetulnya hanya membuka pikiran dan pemikiran. Banyak nilai-nilai kehidupan yang seharusnya dipelajari untuk menjalani dan memaknai hidup. Sayangnya tidak semua orang bisa memiliki pemikiran seperti itu, mungkin tidak pernah dicontohkan, tidak pernah dipelajarinya semasa hidup nya. Dia hanya dicekoki pemikiran tentang materi, tentang kekayaan.
Pemahaman bahwa hidup itu hanya untuk mengejar status sosial, kekayaan, dan materi sudah terpatri kuat. Nilai-nilai hidup berupa moral, norma, budaya, sosial, empati, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, kedisiplinan, dan sejenisnya sudah menjadi hal yang langka dewasa ini, atau mungkin sudah tidak pernah terdengar lagi.
Badai kapitalisme memporak-porandakan tatanan sosial yang sudah lama menjadi basis kehidupan sosial, terutama di Indonesia. Penyebabnya apa?? Ajaran-ajaran modern dari luar negeri?? Menurut saya bukan hanya itu yang jadi penyebab utama nya. Di era modern, dimana informasi bisa diakses dengan sangat mudah dan cepat, ajaran-ajaran kapitalis pada umumnya cepat menyebar.
Seperti kita memiliki rumah, kita tidak bisa menolak hujan badai datang supaya rumah kita tidak rubuh. Kita tidak bisa hanya berharap kalau setiap hari cuaca akan baik-baik saja, sehingga rumah kita bisa tetap tegak berdiri. Yang diperlukan itu sebetulnya membangun rumah dengan kokoh, dari mulai pondasi, tiang, balik, dinding, serta atap yang kita bangun itu merupakan satu kesatuan struktur yang kuat. Sehingga saat badai atau gempa datang, rumah yang kita miliki sebagai tempat bernaung tidak akan hancur.
Kita sepatutnya memperkuat pondasi pemikiran ditengah badai pemikiran yang hanya mementingkan ego individual. Kita perlu menyeimbangkan perjalanan hidup sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, dan jika kita mempercayai Tuhan, kita juga perlu menambahkan parameter spiritual.
Kita tidak bisa menafikkan ego pribadi dengan mengikrarkan diri hanya sebagai makhluk individu dalam menjalani hidup. Makna hidup tidak akan sempurna jika hanya menjalani hidup sebagai individu. Sangat disayangkan jika hanya menjalani hidup tanpa empati, budaya, kejujuran, keadilan, tenggang rasa, dan nilai-nilai sosial lainnya. Yang banyak terjadi adalah banyak orang yang hidup tanpa memaknai nya, ego pribadi dan keinginan untuk memperkaya diri sendiri mengaburkan makna dan hakikat dia sebagai manusia. Dan jika hal ini menjadi sebuah keniscayaan di masa depan, bumi ini akan menjadi arena yang penuh dengan orang serakah yang saling sikut untuk memenuhi ego pribadi masing-masing.
Ah sudahlah, ini hanya pikiran saya saja yang sedang meracau kemana-mana. Tulisan ini juga saya buat gak pakai referensi, hanya tulisan dari sekelebat pemikiran pribadi saja.