“Silakan..”
Pelayan cafe itu mempersilakan kami menikmati pisang goreng coklat, secangkir kopi arabika panas, dan lemon tea panas seraya tersenyum dan kembali ke tempatnya. Snack dan minuman hangat ini menu kedua yang aku pesan. Suasana café di bilangan Jl. Teuku Umar ini masih terbilang ramai larut malam begini. Bangunan café merupakan bangunan tua peninggalan Belanda, ruangan utamanya berbentuk kotak dengan susunan meja kursi untuk 2 orang mengikuti keliling ruangan, dan di tengah ruangan ada 3 kursi meja untuk 4 orang. Ada beberapa kursi meja juga yang ditaruh di teras luar untuk pengunjung yang merokok.
Ada dua pemuda dan seorang kawan perempuan mereka yang daritadi bercerita dengan semangat tentang rencana liburan mereka ke Ujung Genteng. Ada juga seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi paling pojok ruangan menikmati secangkir coklat hangat sambil membaca Tales of Mistery and Terror, Edgard Allan Poe. Diluar, 2 orang lelaki paruh baya mengobrol sembari menghisap rokok yang entah batang ke berapa mereka habiskan, melawan dingin nya angin malam bandung setelah hujan deras. Aku duduk di meja kursi di sisi dekat jendela, berhadapan dengan wanita yang dari tadi pandangan nya tidak lepas dari laptop.
Jarum jam yang paling bontot sebentar lagi akan segera melewati puncaknya untuk kembali jatuh berotasi dalam sumbunya. Hujan diluar sana sudah menjadi rintik, setelah sebelumnya menghantam bumi dengan sangat kencang. Aku menggosok kedua telapak tanganku, berupaya menahan dingin yang semakin menjalar.
“Fuuuuuuuh.. fuuuuuuh..” aku meniup telapak tangan yang kugosok-gosok tadi.
“Kamu gak kedinginan..??” tanyaku.
“Hah..??” serunya.
Aku membuyarkan keseriusan nya menatap layar laptop yang sudah hampir 2 jam dia tatap terus menerus. Dia memalingkan tatapan nya kepadaku dari layar laptop, lalu tersenyum tipis menunjukkan ekspresi antara bingung, jenuh, tapi sedikit lega.
“Tinggal sedikit lagi, bingung bikin kalimat penutup nya” katanya seraya menunjukkan layar laptopnya padaku.
Aku mencerna beberapa kalimat dalam slide terakhirnya.
“Tambahkan sedikit paparan di awal kesimpulan tentang percobaan nya, tarik konklusinya ke poin-poin selanjutnya, poin terakhir isi pakai nilai-nilai parameter yang didapat, habis itu masuk ke kesimpulan utama nya” jelasku.
“Hmmmm, betul juga ya.. jadi mirip alur cerita” dia mengerutkan keningnya.
“Yup” sambarku cepat.
“Oke, aku lanjut bentar lagi yaaa” katanya sambil menepuk-nepuk pipiku.
Aku tersenyum tipis.
22.25
“Haaaaaa.. Selesai..” Dia merentangkan tangan sambil menguap.
“Coba Aku lihat..”
Dia memutar posisi laptopnya ke arahku, lalu aku membaca, memeriksa dari slide awal hingga akhir, mengerutkan dahi. Sementara Dia menikmati pisang goreng coklat yang dipesan tadi, sudah dingin mungkin sekarang.
“Oke sih ini, cukup..” kataku
“Bener??” tanyanya
“Iya, cukup lengkap, tapi ringkas juga. Sudah cukup enak dibaca” Jelasku.
“Ahahaha, akhirnya selesai, setelah daritadi ya. Makasih sudah mau nemani Aku ya. Makan minumnya aku yang bayar deh kali ini. Hahaha.” Katanya sambil mengunyah pisang goreng yang sudah terlanjur dingin.
“Hahaha, dasar kamu” Diam sejenak. “Lalu, setelah selesai semua ini mau apa rencananya?” tanyaku.
Ekspresinya sedikit berubah.
“Aaah, kamu gak bisa lihat aku tenang sedikit.” dahinya mengernyit.
Aku tertawa ringan. Hasrat untuk mengerjainya selalu muncul setiap kali kami bertemu, bukan untuk apa, hanya senang melihat perubahan ekspresi wajahnya yang selalu ekspresif. Aku sendiri memiliki wajah yang relatif datar dengan sedikit ekspresi, jadi melihat wajahnya yang ekspresif memberikan warna tersendiri, tidak bosan selalu berada di dekatnya.
Sudah beberapa minggu ini kami sering menikmati suasana Bandung malam bersama, menikmati hidangan beberapa café, tempat makan pinggir jalan, atau bahkan hanya sekedar berjalan-jalan di lengang nya Bandung malam hari, menikmati pendar cahaya lampu-lampu jalan yang berkolaborasi romantis dengan jalan, pepohonan, dan gedung-gedung tua. Bukan hanya sekedar makan, nongkrong, atau mengobrol, tapi kami sengaja mencari suasana yang nyaman untuk sejenak melepas penat sembari mengerjakan tugas akhir yang sebentar lagi akan kami pertanggung jawabkan dalam sidang akhir.
Malam ini aku menemaninya mengerjakan slide presentasi untuk sidang nya minggu depan. Slide untuk sidang akhir ku sudah selesai terlebih dahulu beberapa hari lalu, mungkin hanya tinggal beberapa revisi saja. Aku mengambil kuliah jurusan teknik, sedangkan Dia mengambil kuliah ilmu alam. Setiap diskusi yang bertemakan jurusan masing-masing, sudah bisa ditebak seperti apa, tidak pernah klop. Aku bicara masalah stabilitas, Dia bicara masalah Arabidopsis Thaliana, Aku bicara masalah sinus cosinus tangens, Dia bicara masalah polymerase chain reaction. Tapi ya, kami menikmati obrolan-obrolan selama ini.
22.45
Setelah membayar semua pesanan di kasir, kami menuju parkiran, butir air masih berjatuhan dari sisa hujan yang betah bergumul dengan dedaunan dan ranting-ranting pohon besar sekitar café. Angin beraroma hujan sesekali menyapa wajah kami. Aku mengayuh kick starter TS125 kuning yang sudah jadi tunganganku 5 tahun terakhir, raungan knalpot motor 2 tak seketika memecah sunyi jalan Teuku Umar. Sekitar 3 menit aku memanaskan mesin motor, sembari menunggu Dia memakai helm half face hitam dengan beberapa sticker logo band tertempel di belakangnya, ada The Sigit, Efek Rumah Kaca, Mocca, dan Pure Saturday.
“Sudah?” tanyaku
“Yuk..” katanya, seraya naik ke jok belakang motor lalu memelukku dari belakang.
Knalpot TS125 yang berisik memecah jalanan yang sudah sangat lengang di malam sehabis hujan. Hanya terlihat beberapa mobil dan motor, angkot pun sudah tidak terlihat, mungkin untuk apa juga narik angkot di larut malam selepas hujan pikir supir angkot.
Terpaan udara malam Bandung sehabis hujan deras terasa menusuk wajah, aku sangat menikmati bermotor malam di Bandung, sehabis hujan, dan ditemani orang yang selama ini sudah mau menemaniku dengan segala naik turun nya emosi. Dia memelukku sedikit lebih erat, kedinginan mungkin. TS125 kuning meluncur menyusuri jalanan Dago, menuju Dago bawah melintasi Cikapayang lalu berbelok ke jalan Sultan Agung.
Sesampainya di depan jajaran toko di jalan Sultan Agung, aku meminggirkan motor, dan mematikan mesin TS125 ku. Dia melepas pelukannya, turun dari motor, lalu membuka helm yang Dia kenakan.
“Terima kasih banyak ya, sudah menemaniku sampai larut malam gini” katanya.
“Sama-sama, kan kemarin juga kamu sudah nemani aku bikin presentasinya” jawabku.
“Ya sudah, hati-hati ya, jalanan masih licin, gak perlu ngebut-ngebut, kecuali dikejar geng motor, hehe..” katanya sambil mengembalikan helmnya padaku, lalu menepuk-nepuk sisi helmku di bagian pipi.
Aku membalasnya dengan senyum.
Dia kemudian berbalik, berjalan menuju kedalam barisan toko yang sudah tutup, menuju sebuah pintu di sudut salah satu toko. Tempat kost Dia memang ada di belakang toko tersebut, agak kurang lazim sebagai tempat kost memang, karena terkamuflase oleh toko pernak pernik di depan nya.
Aku menunggunya hingga dia membuka pintu, masuk, kemudian melambaikan tangannya, berkata untuk berhati-hati saat aku pulang ke rumah. Pintu ditutup, kemudian aku menggenjot kembali kick starter TS125 ku. Sunyi terpecah kembali, aku menarik gas perlahan, membiarkan terpaan udara malam, merobek sunyi dengan suara berisik TS125 kuning yang aku tunggangi.
Dingin angin malam, cipratan air sisa hujan, temaram lampu yang syahdu memantul di pepohonan, dan memori indah tentang waktu yang sering ku habiskan bersama Dia akhir-akhir ini, menemani perjalanan pulangku menuju rumah. Aku menuju ke bagian barat Bandung dengan senyum, merobek sunyi malam yang sudah makin larut.
Bandung, 3 tahun lalu 22.57