Shikata Ga Nai – しかたがない

Shikata Ga Nai (しかたがない) is Japanese phrase means “There is nothing we can do anymore” or “it cannot be helped”. Its sounds pessimistic, but this phrase reminds us to accept the reality that there’s some things we cannot control. 

In this life we are the human that occupy the earth as our land. We control anything that linked with our life; we can reach anything for what we want. We learn that if we have goals, we can achieve it by walking in our dreams; nothing impossible. Sounds optimistic? Or maybe sounds arrogant? 

We forget about that life is formed by many complex things if we can see further, and in some point, we will realize that we are only a small thing in a complex universe. Actually, if we realize, there is more variables that we cannot control in this life than variable that we can control. So, if we accept that reality, we should learn that sometimes we have to let something happen without our control. 

We live in a world that in hurry, every day we have many races to be done. We have a lot of things to be compared with others, our achievement, our capital, our possess, and many other things. Sounds stressful, are they? 

Imagine that in this weekend we have a plan with our family or friends for camping near a beautiful lake, we’ve planned this from months ago. Everything is prepared, the tent, the food, the games, the guitar, and so on, until we arrive and set up the tent, arrange the food and barbecue. Not too long after that, clouds cover the sky and after that hard rain fall. What we can do? stopping the rain? nothing. feeling disappointed? surely.

It is normal to feel disappointed, but it is not normal when we can’t handle the disappointment and drown into sorrow. How to control the disappointment? One of the ways is by letting it happen, just let it go, like Elsa said in Frozen. We don’t have to lowering our expectation and our target, but just realize that many things in this world we cannot control, and not every dream will come true.  

Even God will not grant every wish that we ask to Him. Not because He didn’t care for what we are, and for what we want. But He always knows what the best is for us. Sometimes He wants us to hit the brake, not because He not allow us to drive our life, is because He cares that if we don’t hit the brake, we will crash into something in front of us that we cannot even realize at that moment. 

We know what is good for us, by planning it every day, every time, but God knows the best. Don’t ever think that He didn’t grant us for what we wanted most, because He didn’t care about us. Just think if He granted our wishes, maybe at the beginning we will grateful for what we’ve got, but furthermore our wish can make harm and sorrow for us for long time. We have to realize also that not everything we can see and we can process, there is bigger thing that will happen and connected to us.  

Just do the best for our dreams, and let God do the rest, surrender our dreams to Him without hesitations, have faith that everything will always be all right in the hand of God.

Bandung, 3 Tahun lalu, 22.03

“Silakan..”

Pelayan cafe itu mempersilakan kami menikmati pisang goreng coklat, secangkir kopi arabika panas, dan lemon tea panas seraya tersenyum dan kembali ke tempatnya. Snack dan minuman hangat ini menu kedua yang aku pesan. Suasana café di bilangan Jl. Teuku Umar ini masih terbilang ramai larut malam begini. Bangunan café merupakan bangunan tua peninggalan Belanda, ruangan utamanya berbentuk kotak dengan susunan meja kursi untuk 2 orang mengikuti keliling ruangan, dan di tengah ruangan ada 3 kursi meja untuk 4 orang. Ada beberapa kursi meja juga yang ditaruh di teras luar untuk pengunjung yang merokok.

Ada dua pemuda dan seorang kawan perempuan mereka yang daritadi bercerita dengan semangat tentang rencana liburan mereka ke Ujung Genteng. Ada juga seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi paling pojok ruangan menikmati secangkir coklat hangat sambil membaca Tales of Mistery and Terror, Edgard Allan Poe. Diluar, 2 orang lelaki paruh baya mengobrol sembari menghisap rokok yang entah batang ke berapa mereka habiskan, melawan dingin nya angin malam bandung setelah hujan deras. Aku duduk di meja kursi di sisi dekat jendela, berhadapan dengan wanita yang dari tadi pandangan nya tidak lepas dari laptop.

Jarum jam yang paling bontot sebentar lagi akan segera melewati puncaknya untuk kembali jatuh berotasi dalam sumbunya. Hujan diluar sana sudah menjadi rintik, setelah sebelumnya menghantam bumi dengan sangat kencang. Aku menggosok kedua telapak tanganku, berupaya menahan dingin yang semakin menjalar.

“Fuuuuuuuh.. fuuuuuuh..” aku meniup telapak tangan yang kugosok-gosok tadi.

“Kamu gak kedinginan..??” tanyaku.

“Hah..??” serunya.

Aku membuyarkan keseriusan nya menatap layar laptop yang sudah hampir 2 jam dia tatap terus menerus. Dia memalingkan tatapan nya kepadaku dari layar laptop, lalu tersenyum tipis menunjukkan ekspresi antara bingung, jenuh, tapi sedikit lega.

“Tinggal sedikit lagi, bingung bikin kalimat penutup nya” katanya seraya menunjukkan layar laptopnya padaku.

Aku mencerna beberapa kalimat dalam slide terakhirnya.

“Tambahkan sedikit paparan di awal kesimpulan tentang percobaan nya, tarik konklusinya ke poin-poin selanjutnya, poin terakhir isi pakai nilai-nilai parameter yang didapat, habis itu masuk ke kesimpulan utama nya” jelasku.

“Hmmmm, betul juga ya.. jadi mirip alur cerita” dia mengerutkan keningnya.

“Yup” sambarku cepat.

“Oke, aku lanjut bentar lagi yaaa” katanya sambil menepuk-nepuk pipiku.

Aku tersenyum tipis.

22.25

“Haaaaaa.. Selesai..” Dia merentangkan tangan sambil menguap.

“Coba Aku lihat..”

Dia memutar posisi laptopnya ke arahku, lalu aku membaca, memeriksa dari slide awal hingga akhir, mengerutkan dahi. Sementara Dia menikmati pisang goreng coklat yang dipesan tadi, sudah dingin mungkin sekarang.

“Oke sih ini, cukup..” kataku

“Bener??” tanyanya

“Iya, cukup lengkap, tapi ringkas juga. Sudah cukup enak dibaca” Jelasku.

“Ahahaha, akhirnya selesai, setelah daritadi ya. Makasih sudah mau nemani Aku ya. Makan minumnya aku yang bayar deh kali ini. Hahaha.” Katanya sambil mengunyah pisang goreng yang sudah terlanjur dingin.

“Hahaha, dasar kamu” Diam sejenak. “Lalu, setelah selesai semua ini mau apa rencananya?” tanyaku.

Ekspresinya sedikit berubah.

“Aaah, kamu gak bisa lihat aku tenang sedikit.” dahinya mengernyit.

Aku tertawa ringan. Hasrat untuk mengerjainya selalu muncul setiap kali kami bertemu, bukan untuk apa, hanya senang melihat perubahan ekspresi wajahnya yang selalu ekspresif. Aku sendiri memiliki wajah yang relatif datar dengan sedikit ekspresi, jadi melihat wajahnya yang ekspresif memberikan warna tersendiri, tidak bosan selalu berada di dekatnya.

Sudah beberapa minggu ini kami sering menikmati suasana Bandung malam bersama, menikmati hidangan beberapa café, tempat makan pinggir jalan, atau bahkan hanya sekedar berjalan-jalan di lengang nya Bandung malam hari, menikmati pendar cahaya lampu-lampu jalan yang berkolaborasi romantis dengan jalan, pepohonan, dan gedung-gedung tua. Bukan hanya sekedar makan, nongkrong, atau mengobrol, tapi kami sengaja mencari suasana yang nyaman untuk sejenak melepas penat sembari mengerjakan tugas akhir yang sebentar lagi akan kami pertanggung jawabkan dalam sidang akhir.

Malam ini aku menemaninya mengerjakan slide presentasi untuk sidang nya minggu depan. Slide untuk sidang akhir ku sudah selesai terlebih dahulu beberapa hari lalu, mungkin hanya tinggal beberapa revisi saja. Aku mengambil kuliah jurusan teknik, sedangkan Dia mengambil kuliah ilmu alam. Setiap diskusi yang bertemakan jurusan masing-masing, sudah bisa ditebak seperti apa, tidak pernah klop. Aku bicara masalah stabilitas, Dia bicara masalah Arabidopsis Thaliana, Aku bicara masalah sinus cosinus tangens, Dia bicara masalah polymerase chain reaction. Tapi ya, kami menikmati obrolan-obrolan selama ini.

22.45

Setelah membayar semua pesanan di kasir, kami menuju parkiran, butir air masih berjatuhan dari sisa hujan yang betah bergumul dengan dedaunan dan ranting-ranting pohon besar sekitar café. Angin beraroma hujan sesekali menyapa wajah kami. Aku mengayuh kick starter TS125 kuning yang sudah jadi tunganganku 5 tahun terakhir, raungan knalpot motor 2 tak seketika memecah sunyi jalan Teuku Umar. Sekitar 3 menit aku memanaskan mesin motor, sembari menunggu Dia memakai helm half face hitam dengan beberapa sticker logo band tertempel di belakangnya, ada The Sigit, Efek Rumah Kaca, Mocca, dan Pure Saturday.

“Sudah?” tanyaku

“Yuk..” katanya, seraya naik ke jok belakang motor lalu memelukku dari belakang.

Knalpot TS125 yang berisik memecah jalanan yang sudah sangat lengang di malam sehabis hujan. Hanya terlihat beberapa mobil dan motor, angkot pun sudah tidak terlihat, mungkin untuk apa juga narik angkot di larut malam selepas hujan pikir supir angkot.

Terpaan udara malam Bandung sehabis hujan deras terasa menusuk wajah, aku sangat menikmati bermotor malam di Bandung, sehabis hujan, dan ditemani orang yang selama ini sudah mau menemaniku dengan segala naik turun nya emosi. Dia memelukku sedikit lebih erat, kedinginan mungkin. TS125 kuning meluncur menyusuri jalanan Dago, menuju Dago bawah melintasi Cikapayang lalu berbelok ke jalan Sultan Agung.

Sesampainya di depan jajaran toko di jalan Sultan Agung, aku meminggirkan motor, dan mematikan mesin TS125 ku. Dia melepas pelukannya, turun dari motor, lalu membuka helm yang Dia kenakan.

“Terima kasih banyak ya, sudah menemaniku sampai larut malam gini” katanya.

“Sama-sama, kan kemarin juga kamu sudah nemani aku bikin presentasinya” jawabku.

“Ya sudah, hati-hati ya, jalanan masih licin, gak perlu ngebut-ngebut, kecuali dikejar geng motor, hehe..” katanya sambil mengembalikan helmnya padaku, lalu menepuk-nepuk sisi helmku di bagian pipi.

Aku membalasnya dengan senyum.

Dia kemudian berbalik, berjalan menuju kedalam barisan toko yang sudah tutup, menuju sebuah pintu di sudut salah satu toko. Tempat kost Dia memang ada di belakang toko tersebut, agak kurang lazim sebagai tempat kost memang, karena terkamuflase oleh toko pernak pernik di depan nya.

Aku menunggunya hingga dia membuka pintu, masuk, kemudian melambaikan tangannya, berkata untuk berhati-hati saat aku pulang ke rumah. Pintu ditutup, kemudian aku menggenjot kembali kick starter TS125 ku. Sunyi terpecah kembali, aku menarik gas perlahan, membiarkan terpaan udara malam, merobek sunyi dengan suara berisik TS125 kuning yang aku tunggangi.

Dingin angin malam, cipratan air sisa hujan, temaram lampu yang syahdu memantul di pepohonan, dan memori indah tentang waktu yang sering ku habiskan bersama Dia akhir-akhir ini, menemani perjalanan pulangku menuju rumah. Aku menuju ke bagian barat Bandung dengan senyum, merobek sunyi malam yang sudah makin larut.

Bandung, 3 tahun lalu 22.57

Bayang..

Bukan tentang hujan yang turun saat malam masih pekat
Suara rintiknya merasuki jiwa-jiwa yang tenang, tertiup terbawa mimpi
Hembusan angin mengaung syahdu, melenakan..

Bukan tentang degup jantung yang masih berdetak
Pusaran kerinduan yang tak sanggup terucap oleh bibir
Menjelma menjadi sebuah sosok di dalam batin..

Mentari mengalah pada derasnya hujan yang menghapus kenangan masa lalu

Pernahkah kau jatuh cinta..??
Dia selalu mengikuti kemana kau pergi, masuk ke dalam setiap lembaran memori, merusak setiap definisi logika, menjadi racun dalam setiap hembusan nafas, berkeringat, mengalir dalam darah

Kau tidak pernah berselisih dengan bayangan, tentang siapa yang berjalan di depan atau di belakang terlebih dahulu.
Kau tidak pernah mencintai apa-apa, kau hanya mencintai kenangan yang melekat pada satu objek definitif.

Kau hanya mencintai bayangan.

Hilang

Aku, kehilangan diriku
Tersapu oleh hujan, terbasuh oleh peluh
Aku tenggelam dalam hembusan badai
Menggenggam asa dalam hening

Burung-burung manyar terbang berputar diatas kepala
Rupanya bersiap menyambut bangkai yang teronggok dibawahnya
Bangkai asa tanpa nama

Suatu pagi kau bercanda dengan kematian
Kau pikir berbicara dengan kematian adalah gurauan..??
Kau takkan pernah tahu rasanya dicabut nyawa
Saat jiwa terpisah dari raga

Ketika segalanya sudah terlalu jauh dan terlambat
Kau hanya bisa menyesali dan tak bisa kembali

Pada Suatu Hari Nanti

Pada suatu hari nanti
jasadku tak akan ada lagi..
tapi dalam bait-bait sajak ini
kau tak akan kurelakan sendiri..

Pada suatu hari nanti
suaraku tak terdengar lagi..
tapi di antara larik-larik sajak ini
kau akan tetap kusiasati..

Pada suatu hari nanti
impianku pun tak dikenal lagi..
namun di sela-sela huruf sajak ini
kau tak akan letih-letihnya kucari..

– Sapardi Djoko Damono –

Tahun Kedua Bersamamu..

Aku bukan pria terbaik dari semua pria di dunia ini Kamu pun bukan wanita yang paling sempurna dari wanita lain. Tapi bukan itu yang kita cari.. Kita mencari rasa, kita mencari momen, dimana rasa ini berhenti pada satu titik. Titik kulminasi, titik puncak. Saat hatiku dan hatimu menjadi satu dalam hangatnya pelukan hujan di sore hari.

Ada berjuta rasa yang tidak dapat diungkapkan oleh kata.. dan kamu sangat berarti dalam hidupku..

Selamat ulang tahun pernikahan yang kedua, Sayang.. 3121632_medium

Love is a single object, divided into two pieces, and in proper perpective, it’s supposed to be You and Me..

Love is not about finding the right person, but it’s about creating a right relationship, it’s not about how much love you have in the beginning, but how much love you build ’till the end..

Sabtu Sore

Sabtu itu angin berhembus dengan lembut, membisikkan pada kalbu apa itu rindu. Melarutkan rasa yang selama ini ada, membuat gemintang benderang pada konstelasinya. Garis manis itu terlukis sempurna pada komposisi ruang muka yang merona. Dirinya menyanggah semua rumus ilmiah tentang gravitasi. Karena pusat semesta perlahan bergeser pada satu titik dimana Dia berdiri tersipu.

Jika gaya adalah perkalian antara massa dengan percepatan, maka saat itu variabel waktu terhenti untuk sesaat. Yang ada adalah variabel rasa yang tidak terdefinisi oleh kalkulasi apapun.

Mata itu berbicara tentang kejujuran, keteguhan, dan keindahan. Simpul senyum yang sanggup merajut rasa pada degup jantung. Merdunya gemercik hujan musim kemarau meleburkan kata-kata manis. Siang itu, gemintang memberikan senyuman pada semesta mengenai keindahan proporsi garis-garis yang terlukis padanya.

Adalah relativitas berbicara tentang varibel jarak dan waktu, maka rasa adalah hal yang mutlak. Menembus cahaya, menyingkap debu-debu angkasa. Hati, semerah ledakan supernova, menggetarkan seluruh pembuluh darah, mengumpulkan nya pada reseptor di kepala dengan kejutan-kejutan listrik berjuta volt.

Keberanian untuk sebuah loncatan quantum itu ternyata muncul saat amigdala sudah tidak berfungsi. Hanya sistem parasimpatetik yang mengambil alih seluruh pandangan. Dopamin mengalir deras meninggalkan segala memori hitam di masa lalu.

Semesta ikut tersenyum melihat Kamu tersenyum di Sabtu sore itu.

wanita-muslim-ilustrasi-_120503210205-254

Sriwedari, sebuah Lagu, sebuah Legenda..

About 3 weeks ago, I listened a music that broadcast from a radio station in Bandung. The newest song from Maliq D’ Essentials, Setapak Sriwedari. The song was gorgeous.. another cozy song from Maliq. If you search on Youtube, you may find this link :

Setapak Sriwedari – Maliq D’ Essentials

Lihat langit di atas selepas hujan reda, dan kau lihat pelangi
Seperti kau di sini hadirkan sriwedari, dalam suka duniawi
Dan kita berpijak lalu Kau merasakan yang sama sepertiku

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara

Lihat fajar merona memandangi kita seakan tahu cerita
Tentang semua rasa yang ingin kita bawa tanpa ada rahasia

Dan kita melangkah untuk lebih jauh lagi, lebih jauh lagi..

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara

(Setapak di taman sriwedari, setapak sriwedari denganmu..)

Dan kita berpijak lalu, dan kita melangkah untuk, lebih jauh lagi, lebih jauh lagi..

Suara hati kita bergema melantunkan nada-nada
Melagu tanpa berkata..
Irama hati kita bernada, merayu tanpa bicara
Melagu tanpa berkata seperti syair tak beraksara
Seperti puisi tanpa rima, seperti itu aku padamu

(setapak sriwedari denganmu) seperti itu aku padamu
(setapak sriwedari denganmu) seperti itu aku padamu

=======================================================

That’s enough for the song.. one of my favorite songs. Song about love.. simple lyrics with enjoyable music..

Let’s move to the legend now..

If you search “Sriwedari” on google, maybe you’ll find many search result (except to this song) that forward you to Taman Sriwedari, Solo. Yes, Taman Sriwedari is one of cultural place in Surakarta / Solo, Central Java. Taman Sriwedari in Solo is a theater and cultural park that show traditional performing art, called Wayang Orang, or Puppet that played by humans / people. Story of performing art is based on Ramayana and Mahabharata epic.

But actually, the meaning of Sriwedari that was told in Maliq’s song is not Taman Sriwedari in Solo. The meaning from Taman Sriwedari in Maliq’s song is refer to Garden of Heaven, taman surga, in Hindu epic story. Taman Sriwedari is a garden in heaven, a place where Gods and Goddesses live.

A long time before Ramayana and Mahabharata story or even older than Baratayudha War (War between Pandawa and Korawa), there was a kingdom named Maespati, that ruled by king Arjuna Sasrabahu (not Arjuna, son of Pandu, from Baratayudha epic). In that time, Sumantri and Sukrasana were lived. Sumantri and Sukrasana were brothers, they were children from Suwandagni. Sumantri was different from his brother, Sukrasana. Sumantri was a handsome and strong man, Sukrasana was an ugly face man with midget body, but they love each other.

sumantri-sukrasana

Sumantri wanted to be a soldier of Maespati kingdom, then he asked the King, Arjuna Sasrabahu. The king will promote Sumantri, if only Sumantri can took Dewi Citrawati, Princess of Magada Kingdom to be a Queen of Maespati Kingdom. Sumantri was succeed bring Dewi Citrawati to King Arjuna Sasrabahu, but Sumantri didn’t want gave her for free to the King. Sumantri challenged the King for duel, and the winner could had Dewi Citrawati as a wife. Arjuna Sasrabahu answered the challenge and, he won the duel from Sumantri.

As punishment, the King ordered Sumantri to bring Sriwedari, Garden of Heaven, to Maespati kingdom. Sumantri didn’t know how to bring Sriwedari to Maespati kingdom. In confusion, Sumantri met his brother, Sukrasana. Sukrasana, has a power that given by Candra Birawa, a great warrior from giant race who can reach heaven with his power. Sukrasana help his brother Sumantri, brought Sriwedari, garden of heaven to Maespati Kingdom.

So, that’s how Sriwedari, garden of heaven brought to the world, The most beautiful garden in the world, place where Gods and Goddesses life. Just like you, the most beautiful woman in my life.. =B