Trafalgar Square

Aku duduk diatas bangku di pinggir jalan sambil menikmati tiap gigitan tuna sandwich yang ada di genggamanku, memperhatikan orang-orang yang mulai beraktifitas pagi itu. Sebuah rasa tersendiri saat hanya duduk diam dan memperhatikan dunia sekelilingku bergerak. Aku terperanjat saat mataku menangkap seorang wanita berjalan ke arahku mengenakan winter coat krem nya yang bersatu manis dengan kulit sawo matang cerahnya. Dia tersenyum kaget dan melambai padaku. Rambutnya masih seperti dulu, hitam lurus, dibiarkannya jatuh diatas bahunya, diujung kepala nya bertengger winter caps berwarna merah tua.

“Hi.. kemana aja.. long time no see..!!” sapanya.

“Hi kamu, masih disini, gak kemana-mana..” jawabku singkat sambil menggeser posisi dudukku, memberikan space padanya untuk duduk.

“Gimana kabarmu?” tanyaku.

“Kamu gak banyak berubah.. selalu menanyakan dunia orang di sekitarmu..” balasnya singkat.

“Hahaha, itu kan hanya basa basi..” aku balas kembali.

“Hmmm, aku lebih tertarik dengan menyakan duniamu sekarang daripada aku menjawab basa-basimu itu..” dia melanjutkan.

“Kamu juga masih seperti dulu, selalu membalikkan pertanyaan maupun pernyataan.. Aku..?? aku masih melakukan riset kuliahku, part-time traveler masih jadi favoritku di Eropa sini. Banyak tempat menakjubkan. Masih single, kerja sampingan jadi guru bahasa Indonesia di kedutaan” jawabku.

“Hmmmm, kamu gak berbeda jauh dengan yang aku kenal dulu, tidak banyak perubahan, kecuali gaya rambut dan berat badanmu nampaknya..” guraunya.

How’s yours..??” aku bertanya balik.

“Jadi reporter berita internasional masih membuatku berkeliling dari asia selatan, timur tengah, dan sekarang aku ditugaskan menetap di London sampai batas waktu yang belum ditentukan. Mungkin kita bisa sering bertemu lagi..” katanya menggantung di akhir kalimatnya.

“Ada rencana apa hari ini..??” tanyaku.

“Belum ada sih, just killing another free time, as usual.. But National Gallery would be nice, it’s friday..” jawabnya sambil menengokkan kepala ke National Gallery yang ada di belakang kami.

How’s your Spanian boyfriend’s..??” tanyaku.

“Adrian..?? Hmmm, perilaku orang seringkali gak semanis apa yang keluar dari mulutnya..” jawabnya dengan mata  menerawang melihat ke puncak Nelson Column.

“Kamu..?? ada rencana apa hari ini..??” tanyanya balik.

“Belum ada juga sih, hahaha.. belum tau mau kemana, di jalan baru mikir mau kemana.. hehehehe..” aku tertawa sambil melahap satu gigitan sandwichku lagi.

Would you mind if I join with you today..??” tanyanya.

Would be nice surely.. but I don’t know where to yet” kataku sambil tersenyum padanya.

How about just hanging around here until 10..?? as we used to…” dia mengusulkan.

“Melapuk..?? hahahahaha, boleh2, bagus juga idenya..” jawabku.


Hei, it’s 10, National Gallery already opened… would you mind..??

Aku melirik ke belakang, ke balik pilar-pilar besar yang menjulang di belakang kami. Dibawahnya, di tangga menuju pintu utama gallery, sudah banyak orang disana.

National Gallery..?? but I know nothing about art, painting, and any kind of stuffs..” kataku.

So do I..” katanya sambil menyunggingkan cengiran khasnya.

Tak lama, kami berjalan menuju gallery, menaiki tangga Trafalgar Square, menyebarang jalan kecil, dan kembali menaiki tangga National Gallery, masuk ke dalam nya, dan membatin mungkin saja kami masuk ke dalam mesin waktu untuk kembali ke 6 tahun lalu, saat kami bersama.


Hampir 2 jam kami berkeliling di dalam National Gallery, bertukar cerita setelah 6 tahun tidak berjumpa sambil menikmati berbagai macam eksibisi lukisan. Tidak cukup rasanya hanya 2 jam bertukar cerita dengan nya, hanya sekelebat memori yang dapat aku bagi dengan nya. Ternyata aku masih rindu.

Dia melirik jam Gucci-nya. “sudah lunch time” katanya.

Trafalgar Café..??” tanyaku.

“Oke…”

Lalu kami berjalan menuju pintu keluar Gallery, matahari masih tertutup awan angin awal musim dingin bertiup menusuk kulit. Kami berjalan kembali ke arah Trafalgar Square. Sebuah café terletak di salah satu sudut square, jalan masuknya berupa lorong remang-remang di bawah tangga.

Hi, good afternoon, what you would like to eat..??” seorang waitress dengan kemeja dan vest hitam, dasi kupu-kupu, dan celemek terikat di pinggangnya memberikan menu makanan pada kami.

Aku memilih-milih. “Hmmm, Roast Breast with Poulet Noir would be nice..”

Bake potato with tuna salad sounds lovely..” katanya.

OK, Your order will arrive within 10 minutes.. thank you for ordering..” katanya sambil tersenyum pada kami.

“Oh, ya, I forgot, no wine, just grape juice..” kataku padanya.

Ok Sir..” balasnya lagi sambil berlalu.

So, what’s next..??” aku membuka pembicaraan.

“Retoriskah pertanyaanmu itu..??” dia balik bertanya.

“Tergantung arah pembicaraan kita sih sebetulnya” jawabku.

“Hmmm, I know you, but lets not to rush this time. If you ask, what’s next, I think I’m in the position quite settle this time. Aku sudah bisa merealisasikan sebagian besar impian-impian ku dulu, sebelum kita berjalan sendiri-sendiri, sudah bisa menjejakkan kaki di 5 benua, dan sepertinya ego-ego pribadiku pun sudah terealisasikan, atau minimal egoku sudah berkurang untuk beberapa tujuan” jelasnya.

Diam.

“Aku hanya memastikan frekuensi kita masih sama atau sudah berbeda” jelasku singkat.

Diam kembali. Dalam jeda diam kami, si waitress datang menuangkan grape juice ke dalam wine glass kami masing-masing. Aku tersenyum berterima kasih padanya. “thanks..”

“So, kalau aku ajak kamu traveling bareng, sekarang-sekarang ini bisa dong?” tanyaku memecah sunyi.

Matanya sedikit membelalak menunjukkan keterkejutan nya, kemudian raut mukanya segera berubah menjadi senyum tipis, lalu kepalanya sedikit mengangguk menyetujui ajakanku.

“Memangnya kamu mau ajak aku kemana?” tanyanya.

“Norway??” kataku sekenanya, karena kebiasaanku dari dulu berbicara ide yang hanya saat itu terlintas cepat di benak.

“Heee??” dia kembali terkejut.

“Aku ingin kita lihat aurora borealis” aku melanjutkan ide yang tadi tiba-tiba melintas di benakku.

Dia tertawa, “Kamu ini dari dulu gak berubah ya, pasti ide barusan tiba-tiba melintas di pikiranmu, lalu langsung kamu transfer ke mulut untuk disampaikan”

Aku tersenyum mengiyakan, sekaligus bersyukur bahwa wanita yang ada di depanku sekarang masih sedikit banyak mengerti apa yang aku pikirkan. Dulu, frekuensi kami memang sering beresonansi, aku sudah banyak mengenal dia, dan dia pun sudah mengerti banyak tentang diriku. Hingga saat 6 tahun lalu kami memutuskan untuk berpisah karena ternyata ego kami masing-masing lebih besar daripada keinginan bersama. Sempat berselisih paham mengenai rencana bersama, dan ternyata saling mengerti, saling memahami, dan komunikasi yang baik tidak cukup untuk jadi bekal menyatukan rencana bersama.

6 tahun lalu adalah puncak dimana ego kami tidak bisa dikompromikan bersama, dan akhirnya kami memutuskan untuk berpisah, mengejar ego dan impian masing-masing. Selama itu pula kami meninggalkan Indonesia untuk berpetualang mengejar apa yang kami inginkan. Aku melanjutkan studi master ke Belanda, dan dia bekerja di sebuah international NGO untuk ditugaskan pertama kali di Nepal.

Selama 3 tahun kami benar-benar lost contact, tidak tahu kabar masing-masing. Hingga tiba saat dimana aku sedang berjalan di sebuah stasiun di Nantes, Prancis, aku melihat sebuah majalah dengan cover hitam bergradasi ungu berlatarkan sekelompok Suku Badui dengan unta mereka diatas padang pasir, di bawah nya tercantum jelas fotografer yang mengambil gambar tersebut, Kirana Cahaya Kusuma. Dari situ aku mulai mencari kontak nya di google, dan menemukan sebuah alamat email yang dari dulu tidak pernah dia ubah.

Aku memulai untuk menghubungi nya lewat email, dan tidak perlu waktu lama untuk mendapatkan balasan darinya, hingga akhirnya kami bertukan nomor ponsel. 3 tahun setelah nya kami berhubungan melalui whatsapp, tidak intens, hanya sekedar menanyakan kabar, dan terkadang mengomentari foto-foto yang muncul di status masing-masing. Hingga akhirnya beberapa minggu terakhir, dia memberi kabar bahwa akan ditugaskan di kantor pusat tempat dia bekerja, di London.

Aku sudah 2 tahun menetap di London untuk mengejar risetku untuk studi doctor, tapi masih bandel untuk traveling ke beberapa tempat di eropa dan asia. Hingga hari ini akhirnya kami memutuskan untuk bertemu di Trafalgar Square setelah 6 tahun tidak bertemu secara langsung.

Tidak lama, si waitress yang tadi datang kembali untuk menyajikan pesanan kami Roast Breast with Poulet Noir dan Bake potato with tuna salad20 menit kami menghabiskan makan siang tersebut, sembari mengobrol kesana kemari, diselingi tawa, ekspresi heran, kaget, dan hampir selesai tukar cerita kami disitu.

So, after all this time and after our conversation today, I think I’m going to pull my word back about not to rushing anything. I think I miss you..” tiba-tiba mengalir kata-kata tersebut dari mulutnya setelah dia menyelesaikan makan.

Satu lagi dari dia yang tidak berubah, to the point, tanpa banyak drama. Seringkali orang bilang dia terlalu straight forward tanpa mengenal emosi.

Sore itu, diiringi hiruk pikuk Travalgar Square dan dingin nya angin akhir musim gugur, aku kembali menggandeng tangan nya. Kami berjalan keluar square melintasi Thames melalui Golden Jubilee Bridge, menanggalkan segala nya di masa lalu, memulai perjalanan yang baru.

Leave a comment